Pertempuran Di Benteng Tosora

Posted by Labels: at



Pertempuran Benteng Tosora


Pada  tahun 1670 La Tenri Tatta Petta Malampe Gemmena Arung Palakka  Raja Bone bersama pasukanya dan diantu oleh Belada men yerang Benteng Tosora. Pasukan Kerajaan Wajo yang dipimpin Lait To Sengngeng melakukan perlawanan. Pertempuran yang sangat sengit itu berlangsung selama empat hari empat mala, dan ketika itu sangat bayak pasukan Kerjaan Wajo yang tewas. Melihat kenyataan itu aka pasukan Kerjaan Wajo meminta gencatan senjata.
Apalagi Arung Matoa Wajo La Tenri Lait To Sengngeng ikut pula gugur, sebab senjata  meriam yang menjadi senjata andalam Pasukan Kerajaan Wajo  meledak di dalam benteng Tosora. Makanya  La Tenri Lait To Sengngeng Arung Matoa Wajo diberi Gelar sebagai Petta Matinro Ri Salekkona yang mempunyai arti sebagai Raja yang meninggal di dalam pertempurannya. Kemudian digantikan oleh La Palili To Malu Puanna Gelle saudara Ranreng Bentengpola To Palettei untuk melanjutkan peperangan melawan pasukan Kerajaan Bone dan VOC Belanda.
Tidak bisa bertahan lama menahan gempuran Pasuka Arung Palakka yang mengepung Benteng  Tosora. Waktu berjalan dengan cepat, pertahanan Pasukan Kerajaan Wajo makin hari  makin lemah di dalam pengepungan, akhirnya Pasukan Kerajaan Wajo menyerah. Paa tanggal 23 Desember 1670,  Arung Matoa Wajo bersama La Padapi Cakkuridi Wajo, La Pangambong Patola Wajo dan La Kitabaja Villa Wajo selaku delegasi pemerintahan Kerajaan Wajo berangkat ke Makassar  untuk  menandatangani sebuah perjanjian di dalam Benteng Fort Rotterdam (Benteng Ujungpandang) antara pihak Belanda dengan Kerajaan Wajo dan ketika itu turut hadir Raja Bone Arung Palakka La Tenri Tatta dan beberapa Raja-Raja yang merupakan  sekutu dari Belanda.
 Setelah penyerangan di Benteng Tosora, banyak dampak yang ditim bulkan oleh perang tersebut dan berakibat buruk bagi kehidupan rakyat Wajo. Sektor pertanian dan perdagangan sangat mengalami kemunduran dan  makin banyak pula  rakya yang menderita serta berpindah ke daerah lain. Apalagi Kerajaan Wajo diharuskan tunduk dan setia pada Kerjaa Bone dan VOC Belana. Tidak diperbolehkan lagi melakukan hubungan perdagangan dengan daerah-daerah lain kecuali dengan VOC Belanda. Kemudian dilarang pula mendirikan Benteng-Benteng pertahankan.
Setelah  Arung Matoa Wajo mengundurkan diri, maka ia digantikan oleh La Paruwusi Daeng Mayampak Arung Amali sebagai Arung Matoa Wajo ke -25. di dalam kepemimpinannya,  Arung Matoa Wajo berlagak seperti Raja Bone. Memakai Payung Kerajaan dan juga selalu dibunyikan Genrang Tellu (Gendang Tiga) bersama Arung Ennengnge. La Pariwusi ini  menjadi Arung Matoa selama dua puluh tahun (sekitar tahun 1679 -1699) dan  yang  menggantikannya adalah La Tenri Sessuk To Timo   sebagai  Arung Matoa   ke-26.
La Tenri Sessuk iniliah yang menyuruh  rakyat dan Raja-Raja untuk membeli senapan di Pulau Jawa dan daerah  Sumatera  untuk memperkuat k embali pertahanan Kerajaan Wajo. Setelah La Tenri Sessuk To Timo mengundurkan diri sebagai Arung  Matoa Wajo, maka digantikan oleh LA Mattone To Sakke Daeng Paguling, beliau meneruskan usaha-usaha dari pendahulunya. Yakni tetap melakukan pembelian-pembelian senjata api dan memperbaiki bangungan-bangunan yang telah  rusak dahulu  akibat peperangan.
La Galigo  To Sunia diangkat sebagai Arung Matoa Wajo ke 28  menggantikan La Mattone To Sakke. Semasa pemerintahanny banyak rakyat Wajo mengalami perlakuan yang sewenang-wenang  dari orang Bone, sehingga banyak pula orang Bone yang dibunuh oleh orang Wajo. Maka pihak Raja Bone La Patauk Mattana Tikka keluarkan Perintah melarang orang-orang Wajo untuk tidak memakai senjata tajam. La Galigo To Sunia yang memerintah Kerajaan Wajo selama sembilan tahun lamanya. Setelah mangkat ia diberi gelar sebagai Raja Mellengngi Masagina yang berarti Raja yang meninggal  masjidnya.
Kemudian diangkatlah La Tenri Werung  Arung Peneki  sebagai Arung  Mato Wajo Ke 29. beliau inilah yang meneruskan usaha-usaha La Galigo To Sunia terutama persenjetaan Kerajaan Wajo. Ha inilah yang membuat Rajat Bone La Patauk Matana Tikkak  bertambah marah kepada Wajo, sehingga ia  melarang orang wajo  berjalan di daerah Cenrana dengan memakai senjata  tajam seperti  parang dan badik.
 Masa pemerintahan La Tenri Werung  Puanna La Sangaji Arung Peneki ini hanya berlangsung kurang lebih  tiga tahun lamanya dari tahun 1712-1715. beliau mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Arung Matoa  dan pergi ke daerah Bila yang  masuk wilayah Tancung. Tinggallah ia di sana sampai  meninggal dunia.

LA MADDUKELLENG

Lamaddukelleng diperkirakan lahir pada  tahun 1700  di daerah Peneki dan menghabiskan masa kanak-kanaknya di kampung kelahirannya. La Maddukelleng  memasuki masa akil  baliq ia pun  disunat secara Islam oleh orang tuanya La Matatikkak To Addatia (Arung Peneki) pada tahun 1713. meskipun La Maddukelleng seorang anak bangsawan, di kalangan anak remaja sebayanya  mempunyai kepribadian yang sama seperti anak-anak lainnya. Ia bergaual dan tumbuh bersama ia dicintai dan dipuji perangnya oleh rakyat karena La Maddukelleng senantiasa  menumbuhkan rasa simpatik  dari rakyat di sekelilingnya.
Dengan melihat  silsilah yang ditulis dalam Lontara, sangat jelas bahwa di tubuh La Maddukelleng mengalir  darah biru. Ia merupakan seorang  bangsawan tinggi dan merupakan  keturunan langsung dari La Tenri Bali-Batara Wajo.  Hasil perkwinannya  itu  lahirlah La Tompi Wanua – Arung Sailong yang kemudian kawin dengan  We Tenri Lawi , saudara La Tenri Ampa Arung Palakka. Dari perkawinanya lahirlah La Tadampare Puang ri Maggalatung Arung Matoa Wajo 4 lalu kawin dengan we Pegeri Arung Cabalu maka lahirlah dua orang anaknya masing-masing  la Pakoko To Nampe Arung Mato Wajo 5  dan Lamaddukelleng  Arung Peneki 1 yang kemudian mempersunting We Mappaolo Bombang.
Dari hasil perkawinan La Maddaremmeng Arung Peneki  dengan We Mappaolo Bombang, lahirlah anaknya yang bernama La Paturrusi Arung Peneki 2 dan kawin dengan We  Tasi, melahirkan anak yang bernama La Sangkuru  Arung Paneki 3 dan Arung Matoa Wajo 12. Lalu kawin lagi dengan We Tenri Pada anak Lamungkace To Uddama Arung Matoa  Wajo ke 11, maka lahirlah anak bernama La Tenri Gara-Arung Paneki kawin dengan Batari Toja Arung Menge  Ranreng  Talottenreng maka lahirlah La Matatikkan To Addatia- Arung  Peneki yang mempersunting We Tenri Angka – Arung  Singkang. Dari hasil perkawinan  ini kemudian  melahirkan seorang anak lelaki yang bernama La Maddukelleng.

MENJADI  SULTAN PASIR

Dalam Desertasi  Noorduyn (1995) tercatat bahwa La Maddukelleng  bersama pasukannya  berperang,  merebut  dan  menaklukkan Pasir pada tahun 1726, kemudian merebut pula Kutai, Pangatan, Banjarmasin dan daerah sekitarnya. Disebutkan bahwa La Maddukelleng kawin dengan anak Sultan  Pasir yang bernama Andeng Ajang. Setelah Sultan Sepuh Alamsyah (Sultan Pasir Ayahanda Andeng Ajang) wafat, istri La Maddukelleng dicalon kan menjadi Ratu Pasir. Namun, sebagian orang-orang Pasir  menolak pencalonan tersebut. Akibat dari penolakan itu, pasukan La Maddukelleng  menyerang dan menaklukkan Pasir.
Hasil penaklukan tersebut La Maddukelleng naik tahta menjadi Sultan Pasir serta memerintahkan pasukannya untuk mengejar orang-orang pasir yang kalah dan melarikan diri ke daerah Kutai. La Maddukelleng  kepada Sultan Kutai agar menyerahkan pelarian-pelarian Pasir tersebut, tetapi ikut diserang  dan ditaklukkan.
Sebagai penguasa di daerah Pasir dan Kutai, La Maddukelleng menjadikan wilayah lautnya sebagai markas  untuk mengawasi lalu lintas kapal VOC yang berlayar di Selat Makassar. Di tempat iut pula pasukan La Maddukelleng mengawasi bajak laut  dari kepulauan Sulu yang  sering merompak perahu-perahu dagang antar pulau. Jiak ditemukan hasil rompakan bajak laut tersebut oleh pasukan La Maddukelleng, maka dirampas pula barang-barangnya. Demikian juga dengan kapal-kapal VOC Belanda yang melintas pada malam hari disergap dan dirampas  pula barang dan persenjataannya.
Supaya perahu-perahu dapat berlayar dan berlabuh di Pasir , maka La Maddukelleng Sultan Pasir memerintahkan orang-orang Pasir untuk mengali sungai Pasir yang kemudian galian itu diberi nama Siratte dan sampai sekarang tempat itu disebut sebagai galian Petta La Maddukelleng.
Gubernur   Belanda di  Makassar, Jesus Van Arrewijine dalam memorinya pada tanggal 21 Mei 1733 menyatakan bahwa To Assak, Kapitan Laut pasukan La Maddukelleng menyerang Banjarmasin tetapi  gagal mendudukinya.
La Maddukelleng Sultan Pasir mengawinkan anaknya yang bernama Aji Idoya hasil perkawinannya  dengan Andeng, dengan Sultan Muhammad Idris Sultan Kutai ke 14. maka La Maddukelleng Sultan Pasir makin menguasai daerah Kutai dan Daerah Pasir, sehing akian bertambah kekuatan pasukan dan persenjataannya.
Post a Comment

Back to Top